BUNUH DIRI ( SUICIDE )
OLEH MAHASISWA BK UNSRI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena enggan berhadapan dengan sesuatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Fenomena bunuh diri tampaknya semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Ada anak SD yang bunuh diri hanya gara-gara seragam pramukanya masih basah, seorang anak TK yang menghabisi nyawanya karena habis dimarahi orang tuanya, atau seorang siswi yang karena malu diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur, nekat mengakhiri hidupnya. Belum lagi ada begitu banyak orang yang karena kesulitan ekonomi, diceraikan pasangan, mengambil suatu keputusan yang fatal: bunuh diri!
o Di antara semua tragedi tersebut, salah satu peristiwa yang cukup menggemparkan baru-baru ini adalah adanya tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang ibu, namun kepergiannya ke alam baka “turut mengajak serta” keempat anaknya yang masih belia dengan cara meracuni mereka.
Ada banyak sekali kejadian bunuh diri dan prilaku bunuh diri tersebut tidak sedikit yang hanya disebabkan oleh hal-hal yang sepeleh seperti karena uang yang tidak lebih dari Rp.3000;, karena ditinggal oleh pacar atau hanya karena kena marah oleh guru atau malu dengan teman. Hal-hal semacam itu bias menjadi penyebab seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Dari sedikit pemaparan tersebutlah penulis menulis makala tentang bunuh diri ini. Penulis ingin mengetahui secara lebih rinci lagi apa itu bunuh diri. Selain itu, penulisan makala ini juga dilakukan karena adanya tugas mata kuliah konseling krisis yang diberikan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan.
I.2. Tujuan
Tujuan penulisan makala ini karena penulis ingin menambah pengetahuan serta wawasannya tentang prilaku bunuh diri serta hal-hal yang menyangkut prilaku bunuh diri tersebut.
Selain itu, penulisan makala juga dimaksudkan supaya penulis segabagai seorang calon konselor yang mempunyai kemungkin untuk menemukan kasus tentang bunuh diri, agar penulis bisa sedikit mempersiapkan diri jika kemungkinan itu muncur dikemudian hari.
I.3. Rumusan Masalah
Hal-hal yang akan dibahas dalam makala yang berjudul bunuh diri ini meliputi :
a. Apa definisi bunuh diri?
b. Mengapa orang melakukan tindakan bunuh diri?
c. Bagaimana cara mencega agar tindakan bunuh diri tidak terjadi?
d. Bagaimana peran keluarga dan masyarakat dalam meminimalisir tindakan bunuh diri?
e. Tipe-tipe bunuh diri
f. Apa yang harus kita lakukan jika orang yang dekat dengan kita ingin melakukan tindakan bunuh diri
g. Kapan, dimana dan berapa umur orang-orang yang berpotensi kuat untuk melakukan tindakan bunuh diri?
I.4. Manfaat
Makala ini bias dijadikan referensi bagi pembaca terutama mahasiswa program studi Bimbingan Konseling sebagai salah satu sumber untuk mempersiapkan diri jika dikemudian hari calon-calon konselor sekolah ini menemukan kasus tentang bunuh diri dilingkungannya.
BAB.II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Bunuh diri
Bunuh diri adalah perbuatan menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh individu itu sendiri atau atas permintaannya. Bunuh diri, merupakan kematian yang disebabkan diri sendiri dan disengaja
Menurut Keliat (1994) bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak integrasi diri atau mengakhiri kehidupan, di mana keadaan ini didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk melukai diri sendiri yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku yang merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati dan juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian (Hoeksema, 2001).
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat menyebutkan jika bunuh diri adalah kematian dengan cara melukai, meracuni, atau mencekik atau menenggelamkan diri (mati lemas) dan ada fakta-fakta yang menunjukkan hal tersebut (apakah jelas ataupun tidak jelas) di mana hal-hal tersebut menyebabkan penderitaan pada diri sendiri (self-inflicted) dan hal-hal tersebut secara sungguh-sungguh dilakukan untuk membunuh diri sendiri (Hoeksema, 2001).
Wilkinson (1989) membedakan antara bunuh diri dengan usaha bunuh diri. Wilkinson, menyebutkan jika bunuh diri merupakan tindakan merusak diri yang disengaja oleh seseorang yang menyadari apa yang dilakukannya dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Sementara usaha bunuh diri merupakan tindakan yang tidak fatal, paling sering melibatkan masalah dosis obat berlebihan (terutama obat pengubah suasana hati) tetapi dapat juga melibatkan berbagai jenis melukai diri sendiri. Hanya sekitar 10 % yang melakukan usaha bunuh diri secara serius bermaksud mengakhiri hidupnya. Bunuh diri dan usaha bunuh diri sendiri adalah dua hal yang saling tumpang tindih.
Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri asli (genuine suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi (manipulative suicide). Bunuh diri asli adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mati dan tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya tersebut, dilakukan tanpa perhitungan yang salah (miscalculation). Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi tidak sungguh-sungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka (bunuh diri) adalah percobaan yang terkontrol, yang dilakukan untuk memanipulasi orang lain (Landis & Meyer., Shneidman., dalam Barlow & Durand, 2002 ).
Lyttle (1986) juga membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan usaha bunuh diri (parasuicide). Lyttle menjelaskan bunuh diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri (parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh diri (attempted suicide).
Heeringen (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu sendiri dan usaha bunuh diri sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan kejadian fatal maupun kejadian yang tidak fatal.
Wilkinson (1989) meski membedakan antara bunuh diri dengan usaha bunuh diri, dia juga mengakui jika bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah dua istilah dan perilaku yang saling tumpah tindih (over lap). Brown dan Vinokur (2003) menyebutkan jika ada hubungan atau keterkaitan antara ide bunuh diri dengan perilaku bunuh diri yang sukses. Dengan kata lain, ide bunuh diri merupakan hal yang mengawali terjadinya perilaku bunuh diri yang sukses. Istilah usaha bunuh diri sendiri digunakan untuk menggambarkan perilaku yang potensial dalam menyakiti diri sendiri dengan hasil yang tidak fatal, yang mana ada fakta (nyata maupun tidak nyata), yang menunjukkan jika individu mempunyai keinginan untuk (dengan tingkatan tertentu) membunuh dirinya.
1. Bunuh diri karena terpengaruh
Setiap tindakan bunuh diri memiliki efek tanda emosional pada semua yang terlibat. Keluarga orang tersebut, teman, dan dokter bisa merasa berasalah, malu, dan menyesal tidak melakukan pencegahan bunuh diri tersebut. mereka bisa juga merasa marah kepada orang tersebut. segera, mereka bisa menyadari bahwa mereka tidak dapat mencegah bunuh diri tersebut. kadangkala seorang konselor dukacita atau sebuah kelompok membantu-diri sendiri, seperti penyelamat bunuh diri, bisa membantu keluarga dan teman menghadapi perasaan bersalah dan dukacita mereka. Dokter perawatan utama atai pelayanan kesehatan mental sekitar (misal, pada negara atau tingkat negara) bisa seringkali membantu menolong menempatkan sumber-sumber ini. sebagai tambahan, organisasi nasional, seperti yayasan Amerika untuk pencegahan bunuh diri, seringkali memeliharan direktori pada kelompok pendukung sekitar. Sumber-seuber yang tersedia pada internet sebagai baik.
Efek upaya bunuh diri adalah serupa. meskipun begitu, anggota keluarga dan teman mengalami kesempatan untuk memecahkan perasaan mereka dengan bereaksi secara wajar terhadap tangisan seseorang untuk pertolongan.
2. Bunuh diri yang dibantu
Bunuh diri yang dibantu merujuk pada pertolongan yang diberikan kepada seseorang yang berharap untuk mengakhiri hidupnya oleh seorang dokter atau pemerhati kesehatan professional lainnya atau bahkan oleh anggota keluarga atau teman. Bunuh diri yang dibantu sangat controversial karena ini membalikkan tujuan umum dokter, yang mana untuk mempertahankan kehidupan. Bunuh diri yang dibantu adalah tidak sah di seluruh negara kecuali Oregon. Diseluruh Amerika, dokter bisa menyediakan pengobatan yang dimaksudkan untuk meminimalkan penderitaan fisik dan emosi, tetapi mereka tidak dapat secara khusus bermaksud untuk mempercepat kematian
II.2. Penyebab bunuh diri / Etiologi Bunuh Diri :
Secara etimologi dan terminologi, etiologi bermakna ilmu tentang penyebab terjadinya suatu penyakit. Anshari (1996) menyebutkan jika etiologi adalah penyebab utama suatu penyakit serta merupakan suatu penyelidikan mengenai hubungan sebab akibat dalam penyakit. Sementara etiologi menurut Sastrapradja (1981) adalah teori tentang sebab-sebab suatu penyakit. Jadi sangat jelas jika etiologi tidak ubahnya, jika menggunakan istilah yang lain, adalah faktor penyebab terjadinya suatu penyakit. Dalam lingkup penelitian ini, etiologi bunuh diri adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri. Etiologi adalah istilah yang digunakan untuk mewakili dua istilah yang lain, faktor penyebab dan faktor risiko, yang di beberapa literatur sering kali digunakan secara bergantian untuk menjelaskan maksud yang sama.
Ada berbagai macam penyebab seseorang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri. Hanati (2003) mengatakan jika penyebab terjadinya bunuh diri sangat beragam dan sebagian besar perilaku tersebut dilatar belakangi ketidakmampuan ekonomi, namun faktor pencetusnya atau pemicunya bisa masalah keluarga, sakit, atau masalah dengan pasangan.
Secara garis besar, kegagalan, penyakit mental, dan keterasingan atau isolasi dalam masyarakat merupakan penyebab utama bunuh diri. Sementara kebanyakan orang yang melakukan usaha bunuh diri tidak menderita penyakit mental. Usaha bunuh diri biasanya merupakan tanggapan secara impulsif terhadap krisis sosial yang menimpa seseorang dan tujuan utamanya adalah untuk menyampaikan adanya suatu penderitaan (Wilkinson, 1989).
Aspek biologis, psikologis, dan sosial merupakan aspek-aspek yang tidak dapat dilepaskan dan terintegrasi secara dinamis dalam kaitannya dengan faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri. Bunuh diri adalah masalah yang kompleks dimana tidak ada satu sebab atau satu alasan yang mendasarinya. Tindakan Itu dihasilkan dari interaksi yang kompleks secara biologi, genetik, psikologi, sosial, budaya dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, Brown dan Vinokur (2003) menemukan jika individu yang tidak mempunyai pekerjaan dan kondisi kesehatannya sangat rendah atau sedang mengalami depresi mempunyai ide-ide bunuh diri yang tinggi.
Dari beberapa pengamatan, bunuh diri dilihat sebagai tindakan yang dipercaya hanya dilakukan oleh orang yang tidak waras “insane people” (dapat dimaknai sebagai orang-orang yang tidak realistis). Meski demikian, pikiran tentang bunuh diri tidaklah mengindikasikan orang tersebut kehilangan kontak dengan dunia nyata, mempunyai konflik yang tidak disadari, atau mengalami gangguan kepribadian.
Mayoritas tindakan bunuh diri dihubungkan dengan mood disorder (Beck & Sterr, dalam Nevid., dkk., 1997). Pikiran-pikran tentang mati, termasuk upaya bunuh diri dapat saja terjadi pada individu dengan gangguan mood (Davidoff, 1991). Bahkan depresi (gangguan mood) merupakan penyebab utama tindakan bunuh diri (Hawari, 1996). 2003). Bunuh diri atau usaha bunuh diri juga dihubungkan dengan gangguan-gangguan psikologis yang lain seperti alkoholik, ketergantungan obat, skizoprenia, panic disorder, dan gangguan kepribadian borderline (Fawcett, dkk., Lesage, dkk., dalam Nevid., dkk., 1997). Hampir 90 % individu yang melakukan bunuh diri didiagnosa mengalami gangguan psikologis dan yang paling utama adalah depresi, skizoprenia, dan ketergantungan serta penyalahgunaan alkohol (Duberstein & Conwell, dalam Halgin & Whitbourne). Dalam banyak kasus bunuh diri, stres juga mempunyai peran yang penting atau dengan kata lain stres bisa menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri.
Durkheim (dalam Meyer & Salmon, 1998) menyebutkan jika perubahan sosial yang sangat cepat, kehilangan keterikatan dalam suatu kelompok, perasaan terasing atau teralienisasi (seperti halnya stockbrokers pada depresi tingkat tinggi), depresi, dan banyak lagi adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri. Brown dan Vinokur (2003) menyebutkan jika depresi, penyakit fisik, masalah keuangan dan kehilangan pekerjaan, serta isolasi sosial adalah beberapa faktor risiko terjadinya bunuh diri.
Shneidman (dalam Nevid., dkk., 1997) menjelaskan faktor-faktor yang berisiko untuk menimbulkan atau menyebabkan perilaku bunuh diri sebagai berikut:
• Riwayat keluarga
Jika anggota keluarga mempunyai keinginan bunuh diri, maka akan ada peningkatan risiko anggota keluarga lain untuk melakukan hal yang sama (Ketty., Malone., dkk, dalam Nevid., dkk., 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Mortensen., dkk (2002) menemukan jika riwayat keluarga orang-orang yang sukses melakukan bunuh diri dan gangguan mental merupakan faktor-faktor yang secara signifikan dan terpisah meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dapat dimengerti, karena kebanyakan orang yang bunuh diri adalah orang-orang yang depresi, dan depresi tersebut diperoleh dari keluarga mereka (kondisi keluarga mereka).
• Neurobiology
Fakta-fakta yang ada menunjukkan jika rendahnya tingkat serotonin pada otak manusia, berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang untuk melakukan bunuh diri dan percobaan bunuh diri (Stanley., dkk, dalam, Nevid., dkk., 1997). Banyak penelitian menemukan adanya keterkaitan antara bunuh diri dengan rendahnya tingkat serotonin (Mann & Arango, dalam Hoeksema, 2001). Bunuh diri, sangat berhubungan dengan gejala-gejala depresi, dan fakta-fakta yang ada menyebutkan jika depresi dihubungkan dengan penurunan kadar serotonin individu (Purselle & Nemeroff, 2002). Individu yang pernah mencoba bunuh diri (suicide attemptter) dengan tingkat serotonin yang rendah, sepuluh kali lebih besar peluangnya untuk mengulang perbuatannya (bunuh diri) dibandingkan dengan individu dengan tingkat serotonin yang tinggi (Roy, dalam Hoeksema 2001). Rendahnya serotonin akan menimbulkan impulsifitas, ketidakstabilan, dan kecenderungan bertindak secara berlebihan dalam situasi tertentu (Spoont, dalam Nevid., dkk., 1997). Sangat memungkinkan bila rendahnya jumlah serotonin memberikan kontribusi kepada seseorang untuk berprilaku impulsif, salah satunya perilaku bunuh diri.
• Adanya gangguan psikologis
Lebih dari 90 % orang-orang yang bunuh diri, menderita atau mengalami gangguan psikologis. (Black & Winokur., Brent & Kolko., Conwel., Dkk., Garland & Zigler., Orbach., dalam Nevid., dkk., 1997). Bunuh diri sering kali diasosiasikan dengan gangguan mood. Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (Mental Helath. Net). Lebih dari 60 % kasus bunuh diri (75 % bunuh diri pada remaja) diasosiasikan dengan adanya gangguan mood. Lebih lanjut, meskipun ditemukan jika depresi dan bunuh diri sangatlah terikat erat satu sama lainnya, namun depresi dan bunuh diri masih berdiri sendiri.
Kebanyakan, perasaan terisolasi dan kehilangan harapan (bagian dari depresi) adalah hal yang sangat bisa menyebabkan terjadinya bunuh diri atau usaha bunuh diri. Alkohol dan penyalahgunaan obat memberikan kontribusi sebesar 25 sampai 50 % terhadap bunuh diri atau usaha bunuh diri (Frances., dkk, dalam Nevid., dkk., 1997). Gangguan kepribadian borderline juga berpotensi menyebabkan seseorang untuk bunuh diri. Selanjutnya, kombinasi antara gangguan kepribadian borderline dengan depresi akan semakin meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri atau usaha bunuh diri.
• Stres yang menyertai setiap rentang kehidupan
Kemungkinan, faktor risiko bunuh diri yang terbesar adalah adanya kejadian-kejadian yang memalukan yang menyebabkan stres berat, kegagalan (nyata atau tidak) di sekolah atau kantor, atau penolakan dari seseorang yang dicintai (Blumenthal., Brent., dkk., Trautment., dkk., Joiner & Ruud, dalam Nevid., dkk., 1997). Stres yang menyertai rentang kehidupan adalah salah satu variasi yang memberikan kontribusi terhadap meningkatnya perilaku bunuh diri (Cohen-Sandler dkk., Isometsa dkk., Statham dkk., dalam Hoeksema, 2001). Kekerasan seksual dan fisik juga merupakan sumber stres yang signifikan. Fakta terbaru menyebutkan jika stres meningkatkan risiko bunuh diri dan usaha bunuh diri (Krug., dkk., dalam Hoeksema 2001).
Keliat (1994) memaparkan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang bunuh diri atau melakukan usaha bunuh diri sebagai berikut :
a. Kegagalan untuk adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
b. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
c. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
e. Tangisan minta tolong.
Sementara Cook dan Fontain (dalam Keliat, 1994) menerangkan penyebab bunuh diri berdasarkan golongan umur. Namun dia tidak merinci rentang usia untuk masing-masing kategori. Cook dan Fontain menyebutkan bahwa penyebab bunuh diri sebagai berikut :
1. Penyebab bunuh diri pada anak (Hafen & Frandsen)
• Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan
• Situasi keluarga yang kacau
• Perasaan tidak disayang atau selalu dikritik
• Gagal sekolah
• Takut atau dihina di sekolah
• Kehilangan orang yang dicintai
• Dihukum orang lain
2. Penyebab bunuh diri pada remaja (Hafen & Frandsen)
• Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
• Sulit mempertahankan hubungan interpersonal
• Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan
• Perasaan tidak dimengerti orang lain
• Kehilangan orang yang dicintai
• Keadaan fisik
• Masalah dengan orang tua
• Masalah seksual
• Depresi
3. Penyebab bunuh diri pada mahasiswa (Hendlin)
• Self-ideal terlalu tinggi
• Cemas akan tugas akademik yang banyak
• Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua
• Kompetisi untuk sukses
4. Penyebab bunuh diri pada lanjut usia (Hendlin)
• Perubahan situasi dari mandiri keketergantungan
• Penyakit yang menurunkan kemampuan fungsi
• Perasaan tidak berarti di masyarakat
• Kesepian dan isolasi social
• Kehilangan ganda (seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan)
• Sumber hidup berkurang
Hoeksema (2001) memaparkan beberapa faktor yang mempunyai keterkaitan erat dengan meningkatnya risiko bunuh diri pada anak-anak dan remaja. Faktor risiko yang akan dipaparkan berikut ini adalah berdasarkan studi yang dilakukan di Amerika Serikat. Berikut pemaparannya :
1. Gender. Anak wanita tiga kali lebih besar percobaan untuk bunuh dirinya dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun anak laki-laki, biasanya lebih besar tingkat kesuksesannya dalam melakukan bunuh diri. Kemungkinan hal ini karena anak laki-laki menggunakan alat-alat bunuh diri yang lebih berbahaya dari perempuan, seperti pistol. Brody (dalam Hoeksema, 2001) menyebutkan jika pistol merupakan media atau alat yang paling tinggi tingkat kesuksesannya dalam mendukung bunuh diri pada anak-anak, bahkan saat anak tersebut masih berusia 5 tahun.
2. Usia. Orang-orang muda yang berada pada fase remaja akhir atau dewasa awal (usia 15-24 tahun) lebih berisiko untuk melakukan bunuh diri.
3. Kondisi geografis. Remaja yang berada di lokasi dengan tingkat populasi yang rendah, mempunyai keinginan untuk melakukan bunuh diri. Remaja yang berada di pedesaan wilayah barat Amerika serikat mempunyai tingkat bunuh diri yang tinggi.
4. Ras. Remaja berkulit putih mempunyai keinginan untuk bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja berkulit hitam. Sementara frekuensi bunuh diri pada remaja laki-laki berkulit hitam meningkat dengan sangat pesat. (Hicks., dkk., dalam Hoeksema, 2001).
5. Depresi dan kehilangan harapan. Depresi dan kehilangan harapan, terlebih lagi jika keduanya terkombinasikan dengan self-esteem yang rendah, adalah faktor risiko dalam melakukan bunuh diri yang paling utama pada remaja dan juga pada orang dewasa.
6. Adanya hal-hal yang mendahului perilaku bunuh diri. Seperempat dari remaja melakukan percobaan bunuh diri secara berulang-ulang. Lebih dari 80 % remaja menceritakan jika mereka akan bunuh diri sebelum mereka melakukan hal tersebut. Remaja yang akan bunuh diri, membawa senjata berbahaya, berbicara mengenai kematian, membuat rencana-rencana bunuh diri, atau melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan berisiko.
7. Hubungan keluarga yang tegang atau tidak nyaman. Masalah dalam keluarga, memberikan sumbangsih sebesar 75 % terhadap adanya percobaan bunuh diri. Masalah termasuk di dalamnya ketidakstabilan dan konflik keluarga (Asarnow., dkk., dalam Hoeksema, 2001). Orang tua yang bertindak dengan kekerasan (abuse), membiarkan (neglect), menolak (rejection) dan ketidakkonsistenan adalah hal-hal yang dimaksudkan.
8. Stres. Banyak kasus bunuh diri pada remaja secara langsung diakibatkan karena adanya kondisi-kondisi traumatis yang mengawali, yang menghasilkan stres yang berat atau luar biasa atau kecemasan. Stres berperan sangat besar terhadap terjadinya bunuh diri atau usaha bunuh diri pada remaja (Halgin & Whitbourne, 2003). Misalnya saja kerusakan hubungan dengan pacar, kehamilan yang tidak diinginkan, memasuki sekolah yang baru, atau sedang menghadapi ujian. (Brody dalam Hoeksema, 2001).
9. Kekerasan. Kekerasan yang sangat banyak, yang terjadi di dalam keluarga para remaja. Atau bisa juga kekerasan yang dilakukan oleh remaja itu sendiri.
10. Pengaruh buruk lingkungan social. Para remaja biasanya menganggap bunuh diri sebagai tindakan heroik yang menantang. Remaja yang berpotensi bunuh diri kadang-kadang adalah bagian dan peran serta dari kelompok-kelompok sosial, perilaku bunuh diri akan semakin besar terlihat ketika mereka atau kelompok mereka terpublikasikan. (Kessler.,dkk., Phillips & Carstensen, dalam Hoeksema, 2001).
Lyttle (1986) menjelaskan secara terpisah dan jelas antara faktor risiko yang memberikan kontribusi positif terhadap bunuh diri dengan faktor risiko yang memberikan kontribusi negatif terhadap bunuh diri. Kontribusi positif dalam hal ini adalah faktor-faktor yang mempunyai potensi untuk meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri, sementara kontribusi negatif adalah faktor-faktor yang berpotensi untuk mengurangi risiko seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Berikut pemaparannya :
1. Faktor risiko yang memberikan kontribusi positif terhadap bunuh diri (meningkatkan risiko)
• Laki-laki
• Umur yang bertambah
• Duda
• Tidak mempunyai pasangan
• Kehilangan masa kanak-kanak
• Tinggal di daerah urban (Khususnya mereka yang tinggal di zona transisi)
• Standar Kehidupan yang tinggi
• Krisis Ekonomi
• Mengkonsumsi alkohol pada tingkat pertengahan
• Menggunakan obat-obat terlarang
• Tidak mempunyai pekerjaan
• Keluarga yang tidak kondusif
• Gangguan mental atau menderita penyakit-penyakit fisik yang kronis
2. Faktor risiko yang memberikan kontribusi negatif terhadap bunuh diri (mengurangi risiko)
• Wanita
• Kepadatan populasi yang rendah
• Bekerja di pedalaman
• Keterikatan secara agama yang kuat, di mana individu bisa mengenali dan mengetahui dari mana dia bisa mendapatkan dukungan sosial.
• Kondisi pernikahan yang kondusif
• Anak dengan jumlah yang besar
• Ada keanggotaan dalam kelas sosial-ekonomi yang rendah
• Perang-ada hubungan timbal balik antara bunuh diri dengan pembunuhan.
Motif bunuh diri ada banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori sebab, misalkan :
1. Dilanda keputusasaan dan depresi
2. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
3. Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).
4. Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
5. Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.
Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri dalam masyarakat, yaitu
1. Egoistic suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),
2. Altruistic suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan
3. Anomic suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan).
Salah satu faktor yang turut menentukan apakah seseorang itu punya potensi untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah faktor kepribadian. Para ahli mengenai soal bunuh diri telah menggolongkan orang yang cenderung untuk bunuh diri sebagai orang yang tidak puas dan belum mandiri, yang terus-menerus meminta, mengeluh, dan mengatur, yang tidak luwes dan kurang mampu menyesuaikan diri. Mereka adalah orang yang memerlukan kepastian mengenai harga dirinya, yang akhirnya menganggap dirinya selalu akan menerima penolakan, dan yang berkepribadian kekanak-kanakan, yang berharap orang lain membuat keputusan dan melaksanakannya untuknya (Doman Lum).
Menurut Norman Wright, seorang psikolog, 10 persen orang yang bunuh diri melakukannya dengan alasan yang tidak jelas. Sebanyak 25 persen digolongkan sebagai orang-orang yang menderita ketidakstabilan mental. Sebanyak 40 persennya lagi melakukan bunuh diri menurut kata hati ketika mengalami gangguan emosi. Ketika stres begitu hebat menguasai mereka, saat itulah mereka memutuskan untuk bunuh diri.
Selain itu, ada juga orang yang bunuh diri agar terlepas dari penderitaan. Orang yang tidak mampu menahan penderitaan dan sakit kronis adalah calon-calon pelaku bunuh diri. Ada juga yang bunuh diri untuk balas dendam, misalnya bagi remaja yang merasa sakit hati akibat penolakan dari orang tua atau kekasihnya. Bunuh diri adalah salah satu cara membalasnya, agar orang yang telah menyakitinya merasa bersalah
II.3. Ciri-ciri orang yang akan bunuh diri
Tanda-tanda secara fisik dan prilaku dari calon korban bunuh diri yang menandakan bahwa ia adalah seorang pribadi yang lemah, gampang frustasi, dan kehilangan gairah hidup.
a. Tanda-tanda emosi berupa :
Mendadak marah, melamun, mudah tersinggung, malu, apatis, menilai diri rendah, merasa bersalah, frustasi, murung dan sangat bersusah hati. Dia adalah orang yang sangat bersusah hati, gampang kecewa, pasif, nggak punya banyak pengalaman hidup yang menantang, sering putus asa dan merasakan sakit kepala, terlihat sedih sepanjang hari, memiliki kepahitan, sangat sensitif dan mudah jenuh.
b. Tanda-tanda berupa perilaku :
Ceroboh, suka mengambil resiko, kondisi makan kacau, menyakiti diri sendiri, kehilangan minat pada sekolah, olah raga, hobi dan aktifitas sosial. Sering mengalami kecelakaan, dan suka mabuk-mabukan serta memakai obat-obatan terlarang. Pernah mengompol saat tidur, kejam, sering menyiksa binatang, jorok, merokok berkepanjangan, menutup diri dari masyarakat, mulai mempelajari dan sering membicarakan bahwa dia pengen bunuh diri dan suka melarikan diri.
c. Tanda-tanda berupa kondisi :
Pelecehan secara fisik dan seksual, sering melihat teman yang bunuh diri, orang tua bercerai, sering mengalami kekejaman/ tindakan kekerasan dalam keluarga, ada pihak keluarga yang pernah bunuh diri, putus cinta, mendengarkan musik tentang bunuh diri, terus menerus pindah sekolah, punya masalah kesehatan pribadi, cacat tubuh dan pernah dikeluarkan dari sekolah.
• Waspadailah orang yang sering ngomong kalo dirinya ingin bunuh diri
• Orang yang sedikit-sedikit pergi ke dokter, padahal ia tidak sakit, bahkan hanya sakit flu biasa aja, itu menandakan bahwa dirinya sedang bimbang dan takut.
• Orang yang bunuh diri bukan hanya orang yang sakit jiwa, tapi bisa juga orang normal yang terkesan baik-baik aja, tapi dia mempunyai masalah berat yang harus ditanggungnya. Selidikilah seorang teman yang secara tiba-tiba menjadi diam setelah ia menanggung beban yang berat.
• Jika ada orang yang seringkali mengunggapkan pengen mati dan melakukan percobaan tindakan bunuh diri, jangan dibiarkan aja ato hanya sekedar dinasehati saja. Tapi bawalah ia ke psikiater ato ahli jiwa, pakar kerohanian/ konseling remaja dan para profesional lainnya yang memang khusus menangani hal ini.
• Tetap pantau remaja yang setelah pulih dari konseling/ pementoran bunuh diri, apabila reaksinya sangat gembira setelah depresi, jangan-jangan beberapa bulan kemudian dia malah bunuh diri. Karna luapan kegembiraannya itu untuk menutupi kegelisahannya dan sebagai performance bahwa dia senang bisa konseling. Namun itu nggak berlangsung lama. Ketika ia menemui masalah baru lagi yang lebih berat, jiwanya akan terancam kembali. Orang seperti ini butuh konseling dan pementoran dalam waktu yang lama.
Berikut ini juga ada kuesioner untuk mendeteksi "potensi bunuh diri" seseorang bunuh diri :
1. Masa depan saya bahagia [ ya / tidak ]
2. Akhir-akhir ini saya sulit tidur [ ya / tidak ]
3. Saya patut dipermasalahkan untuk semua masalah saya ya tidak [ ya / tidak ]
4. Waktu sakit, dokter memberi saya obat penenang ya tidak [ ya / tidak ]
5. Kadang-kadang, saya benar-benar takut [ ya / tidak ]
6. Saya takut kalo tidak bisa mengendalikan diri [ ya / tidak ]
7. Akhir-akhir ini, saya enggan melakukan aktivitas rutin [ ya / tidak ]
8. Saya suka mabuk-mabukan [ ya / tidak ]
9. Dalam 2 tahun terakhir ini, saya sudah pindah tempat minimal 2 kali [ya / tidak]
10. Ada seseorang yang kesejahteraannya harus saya tanggung [ ya / tidak ]
11. Pada umumnya, saya merasa benar-benar tidak berharga [ ya / tidak ]
12. Saya sering minum minuman keras di pagi hari [ ya / tidak ]
Hasilnya, orang-orang yang cenderung bunuh diri menghasilkan pola jawaban seperti ini :
1. Tidak. 2. Ya. 3. Ya. 4. Ya. 5. Ya. 6. Ya
7. Ya. 8. Ya. 9. Ya. 10. Tidak. 11. Ya. 12. Ya
II.4. Cara Mencegah Agar Orang Tidak Jadi Bunuh Diri
Jangan tinggalkan mereka seorang diri, jauhkan dari benda-benda berbahaya, dan usahakan untuk meminimalkan konflik
• Upaya pencegahan pada tingkat keluarga :
Lingkungan keluarga merupakan suatu tempat di mana anak berinteraksi social dengan orangtua yang paling lama sehingga upaya pencegahan yang utama difokuskan pada keluarga kemudian sekolah. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas bapak, ibu, anak dan lain-lain (kakek, nenek, dan sebagainya) yang hidup di bawah satu atap dan saling berhubungan. Masing-masing komponen keluarga harus menjalankan peran, fungsi dan tugasnya dengan rasa tanggungjawab, saling meng- tidak bersikap egois (maunya menang sendiri). Orangtua sedini mungkin harus membekali anak-anaknya ilmu agama sehingga dapat mengetahui ajaran agama secara benar. Bimbingan nilai-nilai agama dan pemberian tauladan berperilaku yang baik sangat perlu bagi anak-anak khususnya pada usia balita, prasekolah dan usia sekolah. Orangtua perlu mengenalkan secara bijaksana sesuai dengan umur anak, bahwa bunuh diri dalam agama (Islam) adalah hal yang dilarang dan berdosa besar. Keluarga yang kedua orangtuanya sibuk bekerja, pola asuh kepada anak yang dilakukan oleh penggantinya seperti kakek, nenek, baby sitter dan pembantu rumah tangga jangan sampai keluar dari rel norma agama, moral dan perilaku yang benar.
Komunikasi dalam keluarga harus dilakukan secara hangat, harmonis dan kontinu. Komunikasi sangat penting terutama pada keluarga yang bekerja diluar kota/daerah sehingga tidak dapat berkumpul setiap hari dengan anggota keluarga. Hal ini sangat penting untuk menghindari miskomunikasi dan rasa saling curiga. Pihak orangtua harus meningkatkan fungsinya dalam hal fungsi asih, asuh dan asah serta mau dan mampu meluangkan waktunya untuk anak-anak sehingga akan terpenuhi kebutuhan psikologisnya. Pemenuhan kebutuhan psikologis akan membuat anak memiliki mekanisme koping yang positif dan mampu mengatasi masalah secara adaptif. Anak tidak akan sungkan dan tidak akan takut untuk bercerita, berkeluh dan meminta pemecahan masalah kepada orangtuanya. Keluarga juga harus menjalankan tugasnya dalam bidang kesehatan seperti mengenal gangguan perkembangan dan gangguan kesehatan setiap anggotanya. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat, memberikan perawatan kepada yang sakit, cacat atau usia yang terlalu muda, mempertahankan suasana rumah yang harmonis dan menguntungkan untuk perkembangan kepribadian anggota keluarga, memanfaatkan dan mempertahankan hubungan baik dengan unit pelayanan kesehatan yang ada. Di sisi lain, Pemerintah juga mengeluarkan produk hukum sebagai upaya preventif, yaitu UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dengan UU ini diharapkan dapat menekan angka kekerasan kepada anak dan anggota keluarga lainnya. Tindakan kekerasan pada anak dan anggota keluarga lainnya merupakan salah satu faktor penyebab bunuh diri pada anak dan remaja. Upaya pencegahan juga harus dilakukan di institusi pendidikan (sekolah). Para guru dan pengelola sekolah lainnya dalam memberikan proses pembelajaran dilakukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat merasa rasa aman dan nyaman. Proses pembelajaran dan sikap para guru jangan sampai membuat anak merasa takut, cemas, malu dan lain-lain yang mampu mempengaruhi psikologis anak secara negatif dan bertindak maladaptive
• Upaya pencegahan pada tingkat masyarakat
Masyarakat dapat memberikan perhatian, bimbingan dan bantuan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh seseorang atau keluarga. Masyarakat jangan menjauhi, mengisolasi, mengejek atau mencela karena hal ini akan menambah stressor yang dirasakan tambah berat. Kelompok-kelompok yang ada di masyarakat seperti kelompok ibuibu PKK, Posyandu, Dasa Wisma, Paguyuban Pengajian dan lain-lain harus berperan serta memberikan support mental secara bermakna. Sedangkan nilai budaya yang dipercaya di suatu masyarakat yang sebenarnya salah, terkait dengan bunuh diri, dapat dihilangkan secara perlahan-lahan. Tentu seiring dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan keluarga dan masyarakat serta meningkatnya pemahaman dan keyakinan seseorang pada ajaran agama secara benar. Dukungan dari masyarakat sangat berarti dalam upaya menekan tingginya kasus bunuh diri. Lingkungan masyarakat harus diciptakan agar sehat, agamis, bersahabat, damai dan nyaman sehingga anggota masyarakat betah bertempat tinggal di tempat tersebut.
II.5. Cara Kita Menangani Orang Yang Cenderung Untuk Melakukan Bunuh Diri
• Jangan mengkritiknya, carikan konseling
Misal neh, kamu ketemu orang yang sukanya murung, mengasihani diri sendiri, udah mulai menyakiti diri sendiri dengan cara percobaan bunuh diri. Orang seperti ini jangan tambah dikritik, tapi jadilah pendengar yang baik. Jangan memberikan nasehat apapun yang bisa membuatnya menjadi lebih tertekan. Tapi, carikanlah dia sebuah lembaga konseling yang emang menangani orang-orang seperti ini. Serahkan saja pada ahlinya.
• Tetap tenang & bersikap positif
Ada seorang bapak yang marah-marah ketika melihat anak remaja putrinya menelan sebotol pil obat tidur. Tapi kemarahan dan prilaku negatif sang bapak ini malah justru mendorong anak tersebut untuk menelan pil-pil dalam botol itu semuanya. Meski tuh anak nggak jadi menemui ajalnya, tapi apa yang ia lakukan tuh menggambarkan isyarat bunuh diri.
Tujuan isyarat ini untuk menekankan adanya luapan emosi. Mereka yang memberi isyarat bunuh diri ini sebenarnya sebenernya sedang menekankan betapa dalamnya penderitaan dan masalah mereka. Jikalau kita menemui isyarat seperti ini, tetaplah tenang, jangan bertindak negatif, tapi carilah pertolongan para ahli.
• Berikan pelukan
Kalo kamu punya teman yang cenderung melakukan tindakan bunuh diri, sering-seringlah mengunjunginya dan jadi pendengar yang baik. Pantaulah stabilitas emosionalnya. Sering-seringlah melakukan kontak fisik seperti, mengusap rambutnya saat berbicara dengannya, memeluknya, mencium keningnya dan katakan bahwa kamu bisa jadi sahabat yang baik dan selalu ada di sampingnya (dalam tanda kutip, lakukan tindakan ini dengan sahabat sesama jenis). Hangatnya pelukan ternyata bisa menenangkan seseorang yang merasa tidak dikasihi.
• Hindari perdebatan
Ketika kalian melihat seorang teman yang selalu melakukan tindakan untuk bunuh diri, janganlah membuat suatu perdebatan yang seolah-olah itu bisa menyadarkannya. Seperti pertanyaan, "Kalo bunuh diri apakah bisa masuk surga?" Janganlah memberikan sebuah pertanyaan diskusi rohani yang harus dilakukan untuk menyadarkannya. Terimalah saja keadaannya. Dia hanya butuh perhatian, itu saja!
• Singkirkan segala sarana bunuh diri
Jika kamu tahu bahwa temenmu itu menyimpan sejumlah sarana bunuh diri seperti obat tidur, obat serangga, pisau, dll. Bertindaklah cerdik untuk menyingkirkannya, saat dia tidak ada. Jangan menyingkirkan benda-benda tersebut saat mereka ada.
Tapi ketika kalian menjumpai seorang teman yang mengancam ingin bunuh diri di depanmu, dengan tangan yang siap membawa suatu sarana untuk bunuh diri. Kamu harus meminta benda tersebut dari tangannya, bukannya berusaha menjatuhkan ato merebut darinya. Jangan panik, tenanglah, dan kendalikan situasi.
• Berdoa
Selain sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan, doa dapat memberikan pandangan yang tepat. Doa bisa menenangkan hati orang-orang yang ingin bunuh diri dan membawa mereka kepada Tuhan.
Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarganya menolak dan tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Pengaruh dari latar belakang kehidupan di masa lampau ini disebut faktor predisposesi (faktor bawaan). Dengan memahami konteks yang demikian, dapatlah kita katakan bahwa akar masalah dari perilaku bunuh diri sebenarnya bukanlah seperti masalah-masalah yang telah disebutkan di atas (ekonomi, putus cinta, penderitaan, dan sebagainya). Sebab masalah-masalah tersebut hanyalah faktor pencetus/pemicu (faktor precipitasi). Penyebab utamanya adalah faktor predisposisi.
Menurut Widyarto Adi Ps, seorang psikolog, seseorang akan jadi melakukan tindakan bunuh diri kalau faktor kedua, pemicu (trigger, memungkinkan. Tidak mungkin ada tindakan bunuh diri yang muncul tiba-tiba, tanpa ada faktor predisposisi sama sekali. Akumulasi persoalan fase sebelumnya akan terpicu oleh suatu peristiwa tertentu.
Bagaimana Menolongnya?
Jika Anda menemukan orang-orang di sekitar Anda yang pernah menyatakan ingin melakukan tindakan bunuh diri, baik secara langsung maupun tidak langsung, jangan anggap remeh hal tersebut. Adakan hubungan, pelihara kontak dengan orang tersebut, jalin hubungan yang simpatik, dan dapatkan informasi lebih jauh. Bersikaplah penuh empati, mau mendengarkan dengan hati, dan ikut memahami perasaannya.
Mengapa?
Sebab orang mengatakan ingin bunuh diri sebenarnya sedang mengomunikasikan sesuatu kepada kita: cry for help (jeritan butuh pertolongan & perhatian). Oleh karena itu, patutlah kita ingat bahwa jangan bersikap sebagai seorang moralis atau seorang hakim yang siap untuk “memvonis” niat mereka tersebut sebagai dosa, tidak bermoral, dan sebagainya.
Mengapa?
Sebab para pelaku bunuh diri pada umumnya sudah mengalami perubahan dalam cara berpikir, terutama bagi mereka yang mengalami depresi, sehingga kata-kata vonis yang diucapkan kepada mereka dianggap sebagai sesuatu yang pantas mereka terima, yang pada akhirnya akan membuat keputusan untuk bunuh diri sebagai sesuatu yang harus dilakukan (Norman Wright).
II.6. Tipe-tipe Bunuh Diri
Shneidman (dalam Barlow dan Durand, 2002) membedakan bunuh diri berdasarkan individunya ke dalam empat tipe. Berikut empat tipe bunuh diri menurut Shneidman :
a. Pencari Kematian (Death Seekers). Individu-individu yang termasuk dalam tipe ini adalah individu yang secara jelas dan tegas mencari dan menginginkan untuk mengakhiri kehidupannya. Kesungguhan mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri, sudah hadir dalam jangka waktu yang lama, mereka telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kematian mereka. Mereka telah memberikan barang-barang milik mereka kepada orang lain, menuliskan keinginan mereka, membeli sepucuk pistol, lalu segera bunuh diri. Selanjutnya, kesungguhan mereka akan berkurang, dan jika mereka gagal melakukan bunuh diri, mereka kemudian menjadi ragu atau kebingungan (ambivalent) dalam memutuskan untuk mati.
b. Inisiator Kematian (Death Initiators). Inisiator-inisiator mati juga mempunyai keinginan yang jelas untuk mati, tetapi mereka percaya jika kematian mau tidak mau akan segera mereka rasakan. Individu yang menderita penyakit serius tergolong ke dalam tipe ini. Sebagai contoh, beberapa penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus), sebelum mereka mendapatkan perawatan, baik itu perawatan medis atau bukan, terlebih dahulu memutuskan untuk bunuh diri. Hal ini mereka lakukan dengan pertimbangan bahwa mati lebih baik dari pada harus menghadapi penyakit mereka yang mau tidak mau akan bertambah parah dan kemungkinan berubah menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
c. Pengabai Kematian (Death Ignorers). Bersungguh-sungguh untuk mengakhiri kehidupannya, tapi mereka tidak percaya jika keinginan tersebut merupakan akhir dari keberadaan (existence) dirinya. Mereka meyakini bahwa mati merupakan awal dari kehidupan mereka yang baru dan lebih baik. Kelompok-kelompok keagamaan tertentu termasuk ke dalam kategori ini. Sebagai contoh, pada tahun 1997, 39 orang anggota Heaven’s Gate cult melakukan bunuh diri massal.
d. Penantang Kematian (Death Darers). Ragu-ragu (Ambivalent) dalam memandang kematian, dan mereka bertindak jika kesempatan untuk mati bertambah besar. Tetapi hal tersebut, bukanlah suatu jaminan jika mereka akan mati. Orang-orang yang menelan segenggam obat atau pil tanpa mengetahui seberapa berbahaya obat atau pil tersebut, kemudian memanggil seorang teman, tergolong ke dalam tipe ini. Anak-anak muda yang secara acak memasukkan sebuah peluru ke dalam pistol, kemudian mengarahkan ke kepala mereka juga termasuk ke dalam tipe ini. Orang-orang yang termasuk Death Darers, adalah orang-orang yang membutuhkan perhatian atau membuat seseorang atau orang lain merasa bersalah. Dan hal tersebut, melebihi keinginan mereka untuk mati.
Menurut Durkheim (dalam Lyttle, 1986 & Nevid., dkk., 1997) yang konsern mengkaji bunuh diri dengan menggunakan perspektif sosiologi, menyebutkan jika bunuh diri terdiri atas beberapa prinsip tipe. Beberapa prinsip tipe tersebut adalah:
a. Anomic Suicide. Kondisi ketidaknormalan individu berada pada posisi yang sangat rendah, individu adalah orang yang terkatung-katung secara sosial. Anomic suicide adalah hasil dari adanya gangguan yang nyata. Sebagai contoh, seseorang yang tiba-tiba harus kehilangan pekerjaannya yang berharga kemudian melakukan tindakan bunuh diri termasuk ke dalam tipe ini. Anomie disebut juga kehilangan perasaan dan menjadi kebingungan.
b. Egoistic Suicide. Kekurangan keterikatan dengan komunitas sosial atau masyarakat, atau dengan kata lain individu kehilangan dukungan dari lingkungan sosialnya atau masyarakat. Sebagai contoh, orang-orang yang sudah lanjut usia (elderly) yang membunuh diri mereka sendiri setelah kehilangan kontak atau sentuhan dari teman atau keluarganya bisa dimasukkan ke dalam kategori ini.
c. Altruistic Suicide. Pengorbanan diri (self-sacrifice) sebagai bentuk peran serta sosial dan untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat, sebagai contoh kamikaze atau seppuku di jepang. Tipe ini disebut juga “formalized suicide”
d. Fatalistic Suicide. Merupakan bunuh diri sebagai akibat hilangnya kendali diri dan merasa jika bisa menentukan takdir diri sendiri dan orang lain. Bunuh diri massal yang dilakukan oleh 39 orang anggota Heaven’s Gate cult adalah contoh dari tipe ini. Kehidupan 39 orang ini berada di tangan pemimpinnya.
Meyer (1996) memaparkan beberapa tipe bunuh diri yang merupakan pengembangan atas tipe-tipe bunuh diri yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Berikut pemaparannya :
• Realistic. Bunuh diri yang dipercepat oleh tiap-tiap kondisi sebagai suatu prospek dari rasa sakit yang mendahului suatu kesungguhan untuk mati.
• Altruistic. Perilaku-perilaku mengabdi dari suatu individu terhadap kelompok ethic yang memerintahkan atau mengharuskan indvidu tersebut untuk melakukan tindakan bunuh diri.
• Inadvervent. Individu membuat sikap seolah-olah akan melakukan bunuh diri agar bisa mempengaruhi atau memanipulasi seseorang, tetapi sebuah kesalahan pengambilan keputusan akan membawa kekondisi fatal (kematian) yang tidak diharapkan.
• Spite. Hampir mirip dengan inadvervent suicide. Bunuh diri ini terfokus pada seseorang, tetapi keinginan untuk membunuh diri sendiri adalah sungguh-sungguh, dan hal tersebut dilakukan dengan harapan agar orang lain atau seseorang benar-benar menderita karena adanya perasaan bersalah.
• Bizzare. Keinginan bunuh diri dari suatu individu adalah hasil dari adanya halusinasi (seperti adanya suara yang memerintahkan untuk melakukan bunuh diri) atau delusi (seperti adanya kepercayaan bila bunuh diri akan merubah dunia).
• Anomic. Bunuh diri yang terjadi karena adanya ketidakstabilan dalam kondisi ekonomi dan sosial (seperti dengan tiba-tiba kehilangan pendapatan atau pekerjaan). Secara nyata hal ini akan mengubah situasi kehidupan individu. Ketidakmampuan untuk melakukan coping yang baik, bisa mengakibatkan bunuh diri.
• Negative self. Depresi yang kronis dan gangguan perasaan yang kronis menghasilkan percobaan bunuh diri yang berulang yang pada akhirnya menjadi faktor terdepan menuju kondisi yang fatal.
II.7. Bunuh Diri dalam Perspektif Teori-Teori Psikologi
Teori-teori psikologi tentang bunuh diri, fokus pada pikiran dan motivasi dari orang-orang yang melakukan percobaan bunuh diri (Barlow & Durand, 2002). Teori-teori psikologi humanis-eksistensialis misalnya, menghubungkan bunuh diri dengan persepsi tentang hidup yang sudah tidak mempunyai harapan atau tidak mempunyai tujuan yang pasti. Beck (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) mengatakan bahwa bunuh diri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh ketidakmampuan individu dalam mengatasi stres.
Shneidman (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) menyatakan bahwa individu yang mencoba bunuh diri adalah individu yang mencoba untuk mengkomunikasikan rasa frustrasinya kepada seseorang yang dianggap penting oleh individu tersebut. Secara garis besar bunuh diri dalam tinjauan psikologis dibahas dengan menggunakan pendekatan teori psikodinamik, teori kognitif-behavior dan teori gangguan mental.
1. Teori Psikodinamik
Psikodinamik memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang individu adalah merupakan masalah depresi klasik, dalam hal ini, seseorang yang mempunyai agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri (Meningger, dalam Meyer & Salmon, 1998). Konsep Freud tentang insting mati (death instinct), thanatos, merupakan konsep yang mendasari hal tersebut dan menjadi pencetus bagi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Teori Psikodinamik menyatakan bahwa kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh diri (Meyer & Salmon, 1998).
Freud menyatakan jika depresi adalah kemarahan seseorang yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Secara spesifik, ego yang terdapat pada seseorang yang berada pada kondisi seperti hal tersebut, dihadirkan kepada orang yang telah meninggalkannya. Kemarahan akan menjadi lebih besar jika orang yang depresi berharap untuk menghapus kesan atau sosok dari orang yang meninggalkannya. Penghapusan atau penghilangan kesan atau gambar tersebut dilakukan kepada dirinya sendiri dengan jalan bunuh diri.
Teori ini menyatakan jika bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi kemarahan kepada orang lain. Teori psikodinamik menyepakati atau menghendaki orang-orang yang bunuh diri jangan mengekspresikan kemarahannya ke dalam catatan atau surat, karena mereka tidak akan bisa mengekspresikan emosi tersebut dan mengembalikan perasaan tersebut kepada diri mereka.
Aliran-aliran psikodinamik terbaru yang muncul, masih terfokus pada kemarahan pada diri sendiri sebagai inti permasalahan atau penyebab terjadinya tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri (Maltsberger, dalam Hoeksema, 2001).
2. Teori Kognitif-Behavior
Teori kognitif-behavior meyakini jika kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap memberikan kontribusi terhadap terjadinya perilaku bunuh diri. Konsistensi prediksi yang tinggi dari variabel kognitif terhadap bunuh diri adalah kehilangan harapan (hopelessness), perasaan jika masa depan sangatlah suram dan tidak ada jalan untuk menjadikan hal tersebut menjadi lebih baik atau positif (Beck, dkk., dalam Hoeksema, 2001). Adanya pemikiran yang bercabang (dichotomous thinking), kekakuan dan ketidak luwesan dalam berpikir menjadi penyebab seseorang bunuh diri. Kekakuan dan ketidak luwesan tersebut menjadikan seseorang kesulitan dalam menemukan alternatif penyelesaian masalah sampai perasaan untuk bunuh diri yang dirasakan oleh orang tersebut menghilang.
Karakteristik perilaku yang menunjukkan atau yang menjadi penyebab seseorang melakukan bunuh diri adalah impulsifitas. Perilaku ini (impulsif), akan semakin berisiko jika terkombinasikan dengan gangguan psikologis yang lain, seperti depresi atau tinggal di lingkungan dengan potensi untuk menghasilkan stres yang tinggi (Hoeksema, 2001).
3. Gangguan Mental
Hampir 90 % individu yang yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental (Jamison., NIMH., dalam Hoeksema, 2001., Wikipedia ). Gangguan mental yang paling sering dialami oleh orang yang melakukan bunuh diri adalah depresi (Wulsin, Valliant & Wells, dalam Hoeksema, 2001). Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (Mental Health.Net). Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi, dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri (Keliat, 1994). Sering kali diagnosis psikiatri baru muncul setelah seorang individu melakukan bunuh diri. Analisis tingkah laku, suasana hati, dan pikiran individu yang melakukan bunuh diri didasarkan atas laporan dari keluarga dan teman-teman inidividu tersebut serta tulisan atau catatan-catatan individual. Dari data yang ada, 40 individu yang melakukan percobaan bunuh diri, 53 persen diantaranya didiagnosa mengalami gangguan depresi (Petronis., dkk, dalam Hoeksema, 2001).
Studi yang dilakukan kepada anak-anak dan remaja menunjukkan jika depresi meningkatkan risiko untuk bunuh diri. Goodwin dan Jamison (dalam Hoeksema, 2001) mengatakan jika setengah dari individu dengan gangguan bipolar melakukan percobaan bunuh diri, dan kemungkinan satu dari lima sukses melakukan bunuh diri. Gangguan psikologis yang lain yang meningkatkan risiko untuk bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah alkoholik dan penyalahgunaan narkoba (Statham, dalam Hoeksema, 2001). Semua bentuk gangguan psikologis atau gangguan mental berpotensi menjadi faktor risiko perilaku bunuh diri.
II.7. Prevalensi Bunuh Diri
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksikan, Angka kematian akibat bunuh diri pertahun sebanyak 1 juta jiwa. Sekitar 50 persen dari kajadian bunuh diri disebabkan gangguan jiwa dan penyalahgunaan Alkohol/drug. Sedangkan angka percobaan bunuh diri mencapai 10-20 kali bunuh diri.
Denpasar, (CyberNews). Jumlah korban tewas karena bunuh diri selama satu semester pertama 2007 di Bali, yang tercatat di kepolisian setempat mencapai 64 orang, beda tipis dengan semester yang sama tahun lalu (2006) yang terhitung 63 kasus.
II.8. Orang yang Berpotensi melakukan Bunuh Diri
Dari berbagai penelitian, ternyata mereka yang berisiko tinggi melakukan bunuh diri adalah :
• Jenis kelamin pria dengan usia di atas 45 tahun
• Status pernikahan single
• Tidak mempunyai pekerjaan
• Isolasi sosial.
Sedangkan pasien yang melakukan usaha atau tindakan bunuh diri biasanya pada pasien adalah :
• Mereka yang menderita penyakit fisik kronis
• Menderita ganggaun mental
• Orang yang telah mengalami pengalaman masa kanak-kanak yang traumatic, terutama sekali masalah keluarga yang menyusahkan.
• Kehilangan orangtua
• Penyiksaan
Lebih mungkin berusaha bunuh diri, kemungkinan karena mereka beresiko tinggi menjadi tertekan. Upaya bunuh diri juga lebih mungkin diantara para istri yang keras, kebanyakan dari mereka menyiksa anak-anak.
Tingkat tertinggi pada bunuh diri lengkap diantara pria yang lebih tua dari 70 tahun. Sebaliknya, upaya bunuh diri lebih umum sebelum usia pertengahan. Upaya bunuh diri terutama sekali umum diantara remaja perempuan dan pria belum menikah di usia ke-30 mereka. Untuk semua kelompok usia, wanita berusaha bunuh diri 2 sampai 3 kali lebih sering dibandingkan pria, tetapi pria lebih mungkin meninggal pada upaya mereka.
Orang yang sudah menikah pada salah satu kelamin, terutama sekali mereka yang aman dalam berhubungan, memiliki tingkat bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan orang yang belum menikah. Orang yang tinggal sendirian karena berpisah, bercerai, atau yang memiliki tingkat kemungkinan meninggalnya tinggi pada upaya dan bunuh diri lengkap. Memiliki anggota keluarga yang telah berusaha bunuh diri bisa meningkatkan resiko tersebut dengan baik.
Bunuh diri diantara pria berkulit hitam telah meningkat 80% pada 20 tahun terakhir, sehingga tingkat keseluruhan untuk orang kulit hitam sekarang berimbang dengan orang kulit putih, khususnya daerah perkotaan. Diantara orang amerika asli, tingkat tersebut juga meningkat akhir-akhir ini; pada beberapa suku bangsa, hal ini 5 kali dari rata-rata nasional. Tingkat bunuh diri lebih tinggi pada daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedusunan diseluruh dunia. Kebanyakan bunuh diri berakhir di penjara.
II.9. Cara Bunuh Diri yang biasa Pakai/dilakukan
Cara yang dipilih seringkali dipengaruhi oleh faktor budaya dan ketersediaan dan bisa atau tidak bisa menggambarkan keseriusan maksud. Beberapa cara (misal, melompat dari sebuah gedung yang tinggi) membuat bertahan hidup hampi tidak mungkin, sebaliknya cara lain (misal, obat-obatan dengan dosis yang berlebihan) membuat penyelamatan mungkin. Meskipun begitu, bahkan jika seseorang menggunakan sebuah cara yang terbukti tidak menjadi fatal, maksud tersebut bisa saja seserius pada seseorang yang caranya fatal.
Minum obat dengan dosis yang berlebihan dan meracuni diri sendiri adalah dua cara yang paling umum digunakan pada upaya bunuh diri. Asetaminofen saat ini adalah obat yang paling umum digunakan dalam upaya bunuh diri, tetapi antidepressan atau obat-obatan kombinasi juga umum digunakan.
Metode kekerasan, seperti tembakan dan gantungan, tidak biasa diantara upaya bunuh diri karena mereka biasanya mengakibatkan kematian. Pada benar-benar bunuh diri, tembakan adalah cara yang paling sering digunakan di Amerika Serikat. Hal ini adalah cara yang sebagian besar digunakan oleh para pria. Para wanita lebih mungkin untuk menggunakan cara tanpa kekerasana, seperti menggunakan racun, obat dengan dosis yang berlebihan , atau menenggelamkan diri.
Dari jumlah kasus yang tercatat pihak kepolisian, Bali 2007, gantung diri menempati urutan terbesar sebanyak 73 persen, sementara sisanya berupa minum racun, ceburkan diri dan lain-lain.
Sementara untuk modus operandi tikam diri dengan senjata tajam, untuk sementer pertama tahun ini tidak terdeteksi dilakukan oleh korban, ucapnya. Berbeda dengan tahun lalu, tindakan bunuh diri dengan minikam diri sendiri, jumlahnya cukup banyak mencapai tujuh kasus. Sementara untuk gantung diri, merupakan modus operandi yang cukup konvensional, sehingga tetap memduduki peringkat teratas.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Setelah membaca isi dari makala ini, dapat kita simpulkan bahwa bunuh diri merupakan suatu tindakan yang dijadikan sebagai suatu kompensasi dari pelakunya atas apa yang menurutnya terlalu berat atau tidak sanggup dihadapinya.
III.2. Saran
Untuk para calon konselor sekolah khususnya, diharapkan agar lebih peka lagi terhadap siswa-siswanya jika sudah menjadi konselor sekolah nanti, karena hal-hal yang menurut kita sangat sepeleh bias nerarti sangat berat bagi para pelaku tindakan bunuh diri.
Untuk orang-orang yang berpotensi atau pernah terlintas untuk melakukan tinadakan bunuh diri, agar jangan mengambil keputusan disaat sedang kacau atau sedang banyak masalah karena pada saat itu otak sedang tidak bias berpikir secara rasional. Seperti kata Adi W. Gunawan, ambilah keputusan disaat bahagia, agar keputusan tersebut lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=453
http://id.wikipedia.org/wiki/Alanina
http://wangmuba.com/2009/04/13/bunuh-diri-dan-psikologi/
http://www.tmore-online.com/tmore/content/rubric/4/624
http://www.tmore-online.com/tmore/content/rubric/4/623
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0704/21/opi03.html
http://www.kapanlagi.com/h/0000134631.html
http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=4776.
http://www.dradio1034fm.or.id/cetakartikel.php?id=555
Tidak ada komentar:
Posting Komentar